Batik sebagai warisan budaya, yang harus tetap dilestarikan. Itulah yang dilakukan oleh Haryani Winotosastro, pengelola dan pemilik perusahaan kerajinan Batik Winotosastro di Yogyakarta. Pesan dari sang ayah, Winotosastro itu selalu diingatnya. Sejak tahun 1967 hingga sekarang Hani, panggilan akrab Haryani, selalu membantu orangtuanya — Winotosastro dan Mudinah Winotosastro di perusahaan Kerajinan Batik Winotosastro. Hani berperan cukup besar di bagian produksi untuk tetap melestarikan batik tradisional. Motif-motif batik ini klasik dan pewarnaannya alami. Langkah melestarikan pewarna alami itu antara lain dilakukan Hani dengan mengoleksi tanaman yang bisa dipakai sebagai pewarna alami. Tanaman itu ada di halaman rumahnya, yang sekaligus sebagai showroom Batik Winotosastro, dan di sekitar halaman hotel Winotosastro di Jalan Tirtodipuran, Yogyakarta.
Bila menemukan sedikit saja lahan kosong, ia langsung memanfaatkan untuk memperbanyak koleksi tanaman pewarna batik, seperti indigo/tom/nila (Indigofera tinctoria L), tingi (Ceripus tagal), jambal (Ceriops candolleana), tegeran (Cudrania javanensis), putri malu (Mimosa pidica), mengkudu (Morinda citrifolia L), jambu biji, mangga, secang (Caiesalpinia), nangka (Artocarpus integra M), dan sebagainya. Hani juga memberikan biji tanaman indigo kepada sejumlah petani di Bantul, Yogyakarta, untuk ditanam. Bila daunnya dipetik, dia akan membelinya untuk dibuat pasta dan dimanfaatkan oleh Batik Winotosastro sebagai bahan pewarna biru.
‘Warna biru merupakan salah satu ciri khas batik klasik Yogyakarta disamping warna soga coklat dan warna dasar putih. Pada awalnya Batik Winotosastro, yang berdiri sejak 1940, hanya menggunakan pewarna alami. Dengan adanya pewarna kimia yang lebih bervariasi, Batik Winotosastro juga menggunakan pewarna tersebut. Meskipun demikian sebagian besar kerajinan batiknya tetap menggunakan warna alami. Untuk meningkatkan pengetahuannya tentang warna alami, Hani aktif mengikuti seminar-seminar dan workshop mengenai pewarnaan alam untuk tekstil yang diselenggarakan di Indonesia maupun di luar negeri.
Latar belakang pendidikannya, yaitu sarjana muda Teknik Kimia UGM, mendukung keinginan untuk terus mendalami warna alami. Ia senang bereksperimen untuk menghasilkan warna dari bahan alami lainnya yang belum pernah atau jarang dipakai orang sebagai pewarna batik. Di berbagai kesempatan seminar dan workshop, Hani selalu berbicara tentang batik tradisional maupun praktek pembuatan batik tradisional dengan pewarnaan alam. Batik Winotosastro dikenal di dunia. Dulu Winotosastro maupun Hani sering keliling dunia untuk mengikut pameran di Eropa, Amerika, dan Asia yang dikoordinir oleh pemerintah. Juga mengikuti misi dagang yang disponsori oleh UNDP, MEE, JETRO dan UNIDO.
Pada 1998 ia mengikuti workshop di Chiangmai untuk membangkitkan warna alam. Di sana para peserta tukar-menukar biji tanaman indigo dengan peserta dari berbagai negara seperti Korea, Jepang, India, Pakistan. Sejak krisis moneter dan ledakan bom di berbagai tempat, jumlah turis asing yang datang dan membeli produk batik Winotosastro menurun drastis. Bahkan, batik Winotosastro yang dulu banyak diekspor ke berbagai negara atas pesanan departement store di Eropa, Amerika, dan Jepang, sekarang hanya ekspor sedikit dan umumnya hanya pesanan pribadi. Namun demikian, keluarga Winotosastro tetap konsisten dalam melestarikan batik
Sumber : infobatik